Gambar oleh Étienne Léopold Trouvelot (1827–1895)

Kebenaran di Luar Sains Manusia

“Pernahkan kamu mempertanyakan sifat dasar dari realitas?”

Devananta Rafiq
7 min readMay 13, 2019

--

Prawacana

Esai singkat ini berangkat dari tesis-tesis yang dibangun oleh Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow dalam rumusan ‘teori segala sesuatu’ (theory of everything, selanjutnya disebut ToE) melalui buku The Grand Design (2010). Pada bagian pertama esai ini, saya akan menuliskan ulang tesis-tesis tadi dalam konteks sejarah perkembangan ilmu fisika yang lebih luas. Pada bagian kedua, saya akan mempertegas konsekuensi logis yang bisa ditarik dari pemaparan bagian pertama.

Rancang Agung

Satu waktu David Foster Wallace membuka pidato pengantar kelulusan di Kenyon College dengan sebuah cerita yang menarik. Ada dua ikan muda sedang berenang, dan kebetulan mereka bertemu dengan ikan yang lebih tua berenang dari arah yang berbeda.

Ikan yang lebih tua itu menyapa sambil lalu, “Selamat pagi anak-anak. Bagaimana keadaan airnya?” Setelah berenang menjauh satu sama lain, salah satu ikan muda bertanya kepada temannya, “Apa-apaan yang dimaksud air itu?”

Pararel dengan cerita Wallace tadi, kita dapat menemukan perumpamaan serupa dalam buku The Grand Design. Hawking dan Mlodinow menceritakan bahwa Dewan Kota Monza, Italia, pernah melarang pemilik ikan hias untuk memelihara ikan mereka di dalam akuarium berbentuk bejana melengkung. Alasannya, ikan tersebut dianggap akan mendapatkan pandangan yang melenceng dari realitas.

Pada taraf yang berbeda kita mendapatkan penggambaran dari apa yang saya sebut sebagai realitas yang-lain, atau dalam kasus ini realitas si ikan. Pada kasus pertama kita mendapati penggambaran sudut pandang realitas dari si ikan itu sendiri, sedangkan di kasus kedua kita mendapati penggambaran realitas si ikan melalui sudut pandang manusia. Dewan kota Monza berusaha menerapkan sudut pandang yang mereka punya terhadap realitas si ikan.

Hawking dan Mlodinow bertanya lebih lanjut, “Bagaimana cara kita tahu kita sendiri punya gambaran realitas yang sejati dan tidak melenceng?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat dimensi historisitas dari ilmu fisika itu sendiri. Hawking bercerita dalam ceramahnya yang berjudul Gödel and the end of physics bahwa dahulu kita mengenal konsep ‘determinisme saintifik’ dari Pierre-Simon Laplace yang terinspirasi teori Newton yang dianggap berhasil merumuskan hukum alam semesta secara kuantitatif dan saksama.

Tesis determinisme saintifik berpegangan pada prinsip bahwa jika seseorang bisa tahu posisi dan kecepatan dari semua partikel di alam semesta, maka hukum sains dapat menjelaskan kepada kita kalkulasi dari posisi dan kecepatan mereka dalam setiap waktu, di masa lalu maupun masa depan.

Kemudian, tesis tersebut runtuh sejak Paul Dirac berhasil merumuskan teori kuantum. Hawking menyebut teori kuantum ini sebagai cara baru melihat realitas, karena partikel tidak lagi diamati dari posisi dan kecepatan seperti dalam teori Newton, tapi cukup dilihat menggunakan fungsi gelombang (wave function, disimbolkan dengan ψ atau Ψ, dibaca ‘psi’).

Menurut Hawking, perubahan sudut pandang ini harus direspons dengan meredefinisi determinisme.

Masalahnya, kita kemudian dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori yang berkembang menjadi teori medan kuantum (quantum field theory) ini tidak bisa digunakan secara beriringan dengan teori relativitas umum (general relativity).

Menurut teori relativitas umum, gravitasi meruang dan mewaktu, sehingga fungsi gelombang gravitasi tidak bisa diukur dalam hitungan waktu seperti dalam teori medan kuantum. Definisi determinisme saintifik tadi dianggap akan kembali teguh jika kita bisa “menyatukan” keberadaan dua teori yang benar ini, tetapi tidak bisa saling menyesuaikan satu sama lain.

Harapan itu datang dari Ed Witten yang mencetuskan teori dawai (string theory) yang disebut Hawking sebagai “teori kuantum gravitasi sesungguhnya”. Menurut teori dawai, gravitasi tidak dilihat sebagai pembengkokan ruang-waktu, tapi ‘diagram dawai’, berupa jaringan pembuluh yang merepresentasikan simpul-simpul (loops) dari dawai, merambat melalui ruang-waktu yang datar.

Seperti yang tertulis di The Grand Design (penekanan dari teks asli), “Teori dawai terus berkembang sampai dirumuskan lima teori yang berbeda dan jutaan cara dimensi ekstra bisa tergulung, terlalu banyak kemungkinan bagi mereka yang menyatakan bahwa teori dawai adalah teori segalanya yang unik.”

Teori dawai pada awalnya membuat ilmuwan pesimis memandang kesempatan ditemukannya ToE. Namun, harapan itu kembali tumbuh dari penemuan apa yang disebut sebagai ‘dualitas’, yaitu kenyataan bahwa ragam teori dawai, dan cara menggulung dimensi tambahan tadi rupanya adalah “berbagai macam cara menjabarkan fenomena yang sama dalam empat dimensi.”

Dari sana, lahirlah teori-M (M-Theory) yang sekarang dianggap kandidat terkuat dari ToE. Teori-M bukanlah teori yang unik, dalam arti suatu teori yang berdiri tunggal menjelaskan segalanya.

Namun, ia merupakan sehimpunan teori, karena tiap-tiap teorinya bisa jadi memiliki versi realitasnya sendiri-sendiri yang bisa diterima “sepanjang prediksi teori-teorinya seragam bila saling tumpang tindih, yaitu ketika beberapa teori bisa diterapkan sekaligus.”

Kesimpulannya, teori-M memungkinkan ragam alam semesta dengan ragam hukumnya masing-masing tergantung bagaimana kelengkungan ruang internalnya. Jadi sebagai perumpamaan, realitas ikan dalam akuarium itu sama benarnya dengan realitas para anggota Dewan Kota Monza.

Masalahnya adalah teori-M memiliki kemungkinan 10^100 ruang internal yang berarti juga ada kemungkinan 10^100 alam semesta beserta hukumnya masing-masing. Ruang-waktu yang saya, kamu, dan kita semua hidupi ini hanya satu di antaranya.

Prinsip Antropik dan Akhir Fisika

Pertanyaan selanjutnya, apakah determinisme saintifik masih bermakna?

Satu-satunya hal determinan yang bisa diterima sekarang seturut penelusuran ToE bagi Hawking dan Mlodinow adalah “tiada konsep realitas yang independen dari gambaran atau teori.” Jadi setiap bentuk realitas yang ada sudah pasti memiliki gambaran dari diri kita sendiri terhadapnya.

Gambaran yang dimaksud tentu bukan gambar foto atau lukisan, tapi suatu model matematis beserta aturan-aturan yang menjelaskan unsur-unsur dari model tadi untuk dicocokkan dengan hasil pengamatan. Inilah yang dimaksud dengan paradigma realisme bergantung-model (model-dependent realism).

Hawking dan Mlodinow menulis, “Tak ada gunanya menanyakan apakah suatu model itu nyata atau tidak, yang penting adalah cocok tidak model itu dengan pengamatan.”

Ada dua arah analisis yang disasar sekaligus oleh Hawking dan Mlodinow: pengamat dan yang-diamati. Dari sini, kita mengenal prinsip antropik. Mereka menulis bahwa ada dua jenis prinsip antropik: kuat dan lemah. Saya kutip langsung pernyataan mereka di bawah.

Prinsip antropik kuat (strong anthropic principle, SAP) berarti, “Kenyataan keberadaan kita tak hanya membatasi lingkungan kita, tapi juga kemungkinan bentuk dan isi hukum alam itu sendiri.” Sedangkan, prinsip antropik lemah (weak anthropic principle, WAP) berarti, “Keberadaan kita sendiri menetapkan aturan yang menentukan mana dan kapan kita bisa mengamati alam semesta. Artinya, kenyataan keberadaan kita membatasi ciri jenis lingkungan tempat kita berada.”

Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Hawking dan Mlodinow, kita harus merujuk kepada Brandon Carter selaku pencetus prinsip ini. Jika kita mengikuti logika SAP berarti keberadaan makhluk cerdas (sapient) dianggap tidak saja muncul dari prakondisi lingkungannya, tapi juga dapat merekonstruksi hukum alam dari lingkungan si makhluk cerdas ini. Seperti yang Carter bilang, cogito ergo mundus talis est, aku berpikir maka dari itu dunia (serupa) seperti apa yang aku pikirkan.

Pada sisi lain, jika kita mengikuti logika WAP berarti keberadaan makhluk cerdas dalam lingkungannya merupakan keistimewaan yang berdasarkan kecocokan prakondisi yang disediakan lingkungannya itu sendiri.

Hawking dan Mlodinow lebih suka menyebut WAP ini sebagai ‘prinsip seleksi’, karena kita berada di semesta ini sebagai hasil seleksi dari makhluk macam apa yang cocok dengan prakondisi yang disediakan.

Jika kita kembali ke teori-M, maka perkembangan penelusuran ToE mengantarkan kita kepada beberapa hal sekaligus dalam kaitannya dengan prinsip antropik. Pertama, afirmasi dari WAP. Kita yang berada di semesta ini hanya dapat memahami ruang-waktu tempat kita meng-ada. Kita tidak bisa memahami semesta lain yang ada di luar sana.

Kedua, afirmasi terhadap WAP mengantarkan kita kepada teorema Gödel tentang ketidaklengkapan (inclompleteness). Menurut Hawking di ceramah yang saya kutip di atas, teorema Gödel dapat ditemukan dalam pernyataan atau tesis yang merujuk ke dirinya sendiri (self-referential).

Rujukan memutar ini berdampak kepada paradoks dari tesis tersebut, karena bisa benar, dan salah dalam satu waktu. Hawking melanjutkan bahwa tautologi ini bisa dilihat pada hasil perhitungan matematis yang tidak bisa dibuktikan, begitu pula problem fisika yang juga tidak bisa diprediksi.

Ketiga, korelasi antara teori-M dan WAP membuktikan teorema Gödel. Artinya, sains mengalami tautologi, karena teori-M tidak bisa dibuktikan secara langsung sebab kita harus mengakses semesta lain yang berisi hukum-hukumnya sendiri. Paradigma realisme bergantung-model yang disusun oleh Hawking dan Mlodinow adalah kelanjutan dari alur logika ini.

Keempat, jika akhir pengembaraan sains adalah ToE, dan jika teori-M adalah ToE yang dimaksud di awal, maka bisa dipastikan sains secara inheren bersifat absolut dan spekulatif. Sains absolut terhadap semesta pengamat, dan sebagai sesuatu yang absolut, kita tidak bisa mengaksesnya.

Makna definitif determinisme harus diubah menjadi “realitas di luar semesta kita tersebut adalah benar, karena sejauh ia independen dari manusia, tetapi ia tetap tidak independen dari gambaran kita terhadapnya.”

Kelima, sejauh sains tidak bisa mengatasi paradoksnya, maka ia sebetulnya hanya sedang berspekulasi. Kritik utama terhadap WAP, teori dawai, dan teori-M secara keseluruhan menyasar bahwa sains tidak boleh tautologis, karena ia harus merujuk kepada sesuatu di luar pengamat dan bisa diujicobakan. Masalahnya, pengandaian bahwa sains harus selalu membutuhkan pengamat itu sendiri problematis, karena mengandaikan tidak adanya realitas yang ‘benar’ ada di luar manusia.

Singkat kata, penelusuran ToE sebetulnya terus dibayang-bayangi oleh akhir dari fisika. Seperti kata Hawking dengan merujuk Gödel, bersiaplah untuk menjumpai inkonsistensi atau ketidaklengkapan dari fisika.

Namun, ketidaklengkapan dari hukum fisika inilah yang terus mendorong manusia untuk mencari tahu dan merumuskan penjelasan-penjelasan terhadapnya. Sains tidak berakhir hanya karena inkonsistensi.

Pascawacana

“Namun, kita bukanlah malaikat yang bisa memandang semesta dari luar,” kata Hawking dalam ceramahnya tersebut. Ya, kita memang bukan malaikat dari luar alam raya. Manusia memang tak ubahnya ikan dalam akuarium. Setiap kita memandang ke angkasa, sudah sepatutnya kita bertanya, “Apa-apaan yang dimaksud realitas itu?” Jangan-jangan kenyataan kita dianggap sekadar realitas bejana oleh entitas lain di luar sana.

Teks ini pertama kali terbit di qureta. Teks di atas adalah versi asli tanpa proses edit redaktur.

--

--

Devananta Rafiq
Devananta Rafiq

No responses yet